Empat Lawang UKN
Di Teluk Phang Nga, Thailand
selatan, berdiri sebuah desa unik. Dari kejauhan tampak rumah-rumah kayu
berjejer rapi di atas laut, ditopang tiang pancang. Suara azan menggema dari
masjid yang juga berdiri di atas air. Desa ini bernama Ko Panyi (Koh Panyee). Yang
membuatnya istimewa adalah seluruh penduduknya Muslim, dan leluhur mereka
berasal dari Jawa, Indonesia.
Baca Juga yaitu
2. Inilah Nama-NamaMenteri Baru yang dilantik pada 8 September 2025
3. Menguak MisteriFacebook Pro, Mengapa Kreator Pemula Gagal, Sementara Para Suhu Justru Berjaya?
4. Mantan Ketua KONILahat Terseret Korupsi Dana Hibah Rp287 Juta, Ditangkap di Hari Jadi Kejaksaan
5. Ijazah SMA GibranDigugat ke Pengadilan, Benarkah Wakil Presiden Tak Punya Ijazah Indonesia?
6. Nadiem Makarim Resmi
Jadi Tersangka Korupsi Chromebook, Dari Ruang Menteri ke Meja Hijau
Asal mula Ko Panyi bermula
akhir abad ke-18, ketika tiga keluarga nelayan Muslim dari Jawa mengarungi Laut
Andaman. Ada yang bilang mereka merantau karena tekanan kolonial Belanda, ada
pula yang menyebut terdampar karena badai. Saat itu, hukum di Thailand melarang
orang asing memiliki tanah. Maka, mereka cerdik membangun rumah panggung di
atas laut dangkal. Dari langkah sederhana ini, lahirlah sebuah komunitas unik
yang kini berusia hampir 200 tahun.
Pulau Bendera”: Dari Panji ke
Panyi. Legenda setempat menyebut, para pendiri menancapkan bendera di puncak
bukit kapur sebagai penanda lokasi bagi sesama perantau. Dari situlah nama
Panyi lahir berarti “bendera.”
Dalam lidah Jawa dan Melayu,
mereka menyebutnya Pulo Panji. Orang Thai kemudian menyebutnya Ko Panyi atau
Pulau Bendera. Nama itu bertahan hingga kini.
Masjid Sebagai Jantung
Kehidupan. Islam adalah napas Ko Panyi. Masjid pertama dibangun dari kayu, lalu
diperkuat seiring bertambahnya populasi. Kini Masjid Ko Panyi menjadi pusat
ibadah, pendidikan, hingga musyawarah warga.
Setiap kali azan berkumandang, seluruh
aktivitas berhenti. Nelayan pulang, pedagang menutup toko, anak-anak berlarian
ke masjid. Tradisi keislaman tetap dijaga meski mereka hidup di tengah
mayoritas Buddha.
Asimilasi Budaya: Jejak Jawa
yang Tak Hilang. Di masa lalu, bahasa Jawa digunakan sehari-hari. Kini hanya
tersisa di bibir generasi tua, sementara anak muda fasih berbahasa Thai. Namun,
beberapa kata seperti mangan (makan) atau turu (tidur) masih dimengerti.
Kuliner pun jadi saksi
asimilasi, nasi berbumbu rempah khas Jawa berpadu cita rasa Thai. Nilai gotong
royong ala Jawa tetap terasa, mulai dari membangun rumah hingga menyiapkan
hajatan besar.
Hidup Menyatu dengan Laut. Rumah-rumah
di Ko Panyi berdiri di atas tiang pancang. Jembatan kayu menjadi jalan utama.
Anak-anak belajar berenang sebelum berlari, mendayung sampan sebelum naik
sepeda.
Mata pencaharian utama adalah
melaut dan budidaya ikan. Perempuan mengolah hasil laut, sementara sebagian
warga membuka restoran halal, toko suvenir, hingga penginapan kecil untuk wisatawan.
Tahun 1986, anak-anak Ko Panyi
membangun lapangan sepak bola dari papan bekas, terapung di laut. Lapangan
kecil dan licin itu justru melahirkan keterampilan unik. Klub sepak bola Ko
Panyi kemudian menjuarai turnamen provinsi. Lapangan itu kini menjadi ikon
desa, dikenal dunia, dan menjadi daya tarik wisata.
Ko Panyi dan Pariwisata Dunia. Wisatawan
dari seluruh dunia datang melihat desa ini. Mereka menikmati panorama rumah
panggung, masjid, restoran seafood halal, hingga menyaksikan warga beraktivitas.
Namun bagi penduduk, pariwisata hanyalah tambahan. “Kami ini nelayan, Muslim,
keturunan Jawa. Itu identitas utama kami,” kata seorang tetua desa kepada
peneliti.
Tantangan Zaman, Urbanisasi dan
Iklim. Generasi muda banyak yang merantau ke kota, meninggalkan desa.
Modernisasi membawa budaya luar, kadang mengikis tradisi. Perubahan iklim pun
mengancam. Permukaan laut naik, badai makin sering. Warga harus terus
memperkuat tiang rumah agar tidak roboh. Mereka khawatir, suatu saat desa bisa
hilang ditelan laut.
Ikatan Abadi dengan Indonesia. Meski
jauh, Ko Panyi masih merasa terhubung dengan Indonesia. Doa, cerita, dan
masakan menjadi pengingat akan tanah leluhur.
Setiap tamu dari Indonesia
disambut bak keluarga lama. Peneliti pun sering terharu mendengar orang tua Ko
Panyi masih bisa berdoa dengan bahasa Jawa kuno.
Simbol Toleransi di Negeri
Buddha. Ko Panyi adalah bukti toleransi. Di tengah masyarakat Buddha, mereka
bisa hidup damai tanpa kehilangan jati diri. Desa ini jadi simbol bahwa
diaspora bukan berarti tercerabut dari akar.
Sejarah yang Hidup di Atas Air.
Saat matahari tenggelam di Teluk Phang Nga, bayangan masjid Ko Panyi terpantul
di laut. Anak-anak bermain di lapangan terapung, nelayan menyiapkan jaring.
Suara azan kembali menggema.