Oleh : ADV Fhareza Muhammad Gahar,
S.H.,M.H.,CPM.,C.FLS.,C.NSP.,C.FTax
Sebuah
catatan kritis praktisi hukum
Setiap warga
negara Indonesia berhak atas memiliki tanah yang dikuasainya dan berhak untuk
mendaftarkan objek diatas tanahnya sendiri. Tetapi saat ini maraknya perbuatan
tercela yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu sehingga sering mencari celah
untuk pengambil-alihan tanah yang bukan miliknya dari pemilik tanah yang
sebenarnya.

Hal ini kerap
terjadi karena susahnya si pemilik tanah untuk membuat surat menyurat di atas
tanah yang dimilikinya. Dengan berbagai alasan terkadang pejabat desa berdalih
kalau untuk membuat surat diatas tanah tersebut harus ada dasar sebelumnya.
Perlu diketahui Kebanyakan tanah perkebunan yang dimiliki oleh para petani
tidak ada surat jual beli atau pun peralihan hak dalam bentuk tertulis dan hal
ini sering terjadi di tahun 1980an dan/atau
1990 an. Para petani terkadang dalam peralihannya memiliki tanah hanya
menukarkan tanah dengan hewan ternak, terkadang mereka menukarkan tanahnya
dengan tanah dilokasi lain (saling tukar guling), ataupun jual beli tanah hanya
secara lisan dengan pembayaran langsung cash tanpa adanya surat menyurat
apapun.
Baca
juga : Siap – Siap, pemkab Empat Lawang – Sumsel
buka lowongan test P3K akhir tahun 2023
Kemudian ada
pula tanah yang awalnya digarap oleh orang lain tetapi karena tanahnya dirasa
kurang subur atau orang tersebut mau beralih profesi maka tanahnya ditinggalkan
dan/atau di berikan begitu saja kepada orang lain yang mau memanfaatkannya. Ini
sama halnya dengan peralihan tanah tersebut tanpa tertulis atau terdokumentasi
dengn baik. Hal ini terjadi karena diwaktu
itu tanah perkebunan belum begitu bernilai secara ekonomis.
Sebagai contoh,
ada petani yang sampai dengan sekarang, tanah tersebut telah dikuasainya dan
ditanami oleh petani tersebut selama lebih dari 25 tahunan. Pada saat sang
petani ini mau mengesahkan dengan membuat surat menyurat atas tanah yang telah digarapnya
dan dimilikinya selama bertahun-tahun, maka ada oknum pejabat desa yang tidak
berkenan untuk membuatkan surat keterangan atas tanah tersebut. Mereka beralasan bahwa tanah tersebut tidak ada surat
jual belinya atau pun surat peralihan dari pemilik sebelumnya. Alasan ini
dibuatnya karena menganggap bahwa petani yang notabenenya tidak tamat sekolah tidak
mengerti persoalan surat-surat atas tanah yang dia kuasai selama ini. Sehingga
terhambatlah usaha petani untuk dapat membuat surat keterangan atas tanah
miliknya.
Baca
Juga : Peran dan fungsi LSM anti korupsi
Terkadang ada
pula oknum pejabat desa yang yang mengklaim secara terang-terangan dan mengatakan
kalau tanah tersebut adalah tanah nenek
moyangnya. Padahal tanah tersebut telah dikuasai oleh petani tersebut lebih
kurang 20 tahunan dan tidak pernah sekalipun di ganggu atau digugat oleh pihak
manapun. Dengan demikian patut diduga bahwa itu adalah akal-akalan oknum
pejabat desa supaya tanah tersebut seolah-olah tanahnya sengketa sehingga oknum
pejabat desa mempunyai alasan untuk tidak menerbitkan surat keterangan atas tanah
milik petani tersebut.
Banyak sekali
model modus operandi yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat desa. Hal ini
tentunya sangat merugikan bagi petani yang tidak mengerti cara berurusan
sehingga mereka terkadang terbuai dengan bujuk rayu pejabat desa dengan bujukan
untuk menjual tanah tersebut ke orang lain, pembeli serta harganya pun akan
dicarikan oleh oknum pejabat desa tersebut. Dengan demikian harganya pun sudah
pasti jauh dibawah harga pasar tanah dilokasi tersebut. Selisih harga
kesepakatan antar oknum pejabat dengan sipembeli tanah sudah pasti diambil dan
menjadi keuntungan oknum pejabat desa sebagai calo jual beli tanah. Dan
akhirnya petani dipaksa atau pun terpaksa hanya bisa menerima keadaan.
Tidak jarang
pula ada oknum pejabat desa memang khusus meminta jatah tanah secara
terang-terangan apabila mau diselesaikan dengan orang yang mengklaim mempunyai
sebagian tanah tersebut dari asal muasal nenek moyangnya, maka oknum pejabat
desa meminta bagian jatah tanah untuk dirinya sebagai imbalannya. padahal orang
tersebut terkadang juga merupakan antek-antek dari oknum pejabat desa yang
tugasnya memang mengacau di atas tanah petani/pekebun.
Miris memang keadaan petani
di daerah-daerah pedalaman desa, apalagi petani tersebut bukan merupakan
masyarakat asli desa tersebut. Dan kewanangan pembuatan surat menyurat
keterangan tersebut merupakan produk oknum pejabat desa sehingga petani dipaksa
selalu mengalah, walaupun sudah ada beberapa aturan yang mengatur tetapi kerap
kali terjadi demikian karena kurangnya pemahaman-pemahaman tentang hukum,
hendaknya kedepannya hal-hal seperti ini dapat ditindak lanjuti lebih serius
oleh aparatur hukum terkait dan dapat juga diduga tindakan oknum tersebut
terindikasi merupakan perbuatan mafia tanah yang sangat terstruktur.(***)