Jakarta UKN
Dari Lobi Politik hingga Ruang Sidik KPK.
Kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji yang kini menyeret nama mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, bukan sekadar perkara penyalahgunaan wewenang biasa. Di baliknya, ada dugaan pola sistematis yang telah lama bercokol di tata kelola kuota haji pola yang tak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga menimbulkan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp1 triliun.
KPK sudah bergerak cepat, pencegahan bepergian ke luar negeri,
penggeledahan kantor, hingga penyitaan dokumen dan koper berisi bukti. Namun,
publik bertanya-tanya bagaimana sebenarnya skema ini bekerja, dan siapa saja
yang diuntungkan?
Baca Juga : Dana Hibah KONI 2023, seret 30 saksi dan Uang Rp250 Juta Diamankan oleh Kejari Lahat
BacaJuga : Ini loh kronologis kasus CSR BI dan OJK yang melibatkan legeslator RI
Baca
Juga : KPK Sudah Kantongi Nama!. Dua Anggota DPR
Terseret Kasus Korupsi Dana CSR Bank Indonesia.
Baca Juga: Bupati Pati naikan PPB 250% di demo warga
![]() |
foto istimewa |
Namun, SK Menag Nomor 130/2024
memutuskan pembagian kuota tambahan ini 50:50. Separuh untuk haji reguler,
separuh lagi untuk haji khusus (VIP). Padahal, UU No. 8 Tahun 2019 secara tegas
membatasi haji khusus maksimal 8% dari total kuota nasional. Artinya, kebijakan
ini diduga melanggar hukum sekaligus membuka celah bisnis besar.
Dengan pola tersebut maka Kuota Khusus haji dapat menjadi Mesin Uang.
Kuota haji khusus dipegang oleh sejumlah penyelenggara perjalanan ibadah
haji (PPIU) yang memiliki koneksi kuat di lingkaran kekuasaan. Ketua KPK, Setyo
Budiyanto, mengungkap ada sekitar 10 agen travel yang mendapat keuntungan besar
dari pembagian kuota ini.
Harga haji khusus bisa mencapai Rp 300– 500 juta per orang, berkali
lipat dari biaya haji reguler. Dengan 10.000 kursi tambahan, potensi pendapatan
bruto bisa tembus Rp 3– 5 triliun, sebagian besar dinikmati pihak swasta,
sementara jemaah reguler tetap terkatung-katung dalam antrean panjang.
Kerugian Negara dan Jemaah.
Skema ini merugikan negara bukan hanya dari potensi pemasukan resmi yang
hilang, tetapi juga dari biaya operasional, subsidi, dan pengelolaan kuota yang
dibebankan kepada negara.
Bagi jemaah, kerugian jauh lebih pahit. Ribuan calon haji reguler yang
seharusnya berangkat lebih cepat justru tergeser oleh pembeli kursi di jalur khusus. Dampaknya, waktu tunggu yang
sudah menyentuh 20–30 tahun di beberapa daerah semakin panjang.
Kronologi Singkat Dugaan Skandalnya :
1. Januari
2024, Keputusan kuota tambahan 20.000 kursi diumumkan.
2. 15
Januari 2024, SK Menag 130/2024 resmi terbit, membagi kuota tambahan secara
50:50.
3. Februari–Mei
2024, Travel haji mulai menawarkan paket khusus dengan harga fantastis.
4. Juni
2024, Laporan masyarakat dan investigasi ICW menyebut adanya pelanggaran aturan
kuota.
5. Agustus
2025, KPK mencegah Yaqut dan beberapa pihak bepergian keluar negeri,
menggeledah kantor Kemenag dan travel terkait.
Ini sepertinya pola lama, wajah baru.
Jika ditarik mundur, penyelenggaraan haji memang kerap jadi ladang empuk
praktik korupsi dari pengadaan katering, transportasi, hingga pengelolaan
asrama. Namun, kasus kali ini menonjol karena menyentuh inti distribusi kuota,
yang merupakan tiket emas bernilai triliunan rupiah.
Secara umum pola yang teridentifikasi adalah
1. Pemberian
kuota tambahan, dialihkan ke jalur
khusus di luar ketentuan.
2. Kerja
sama travel dengan pejabat, bagi hasil
keuntungan dari penjualan kursi premium.
3. Pengaburan
transparansi dengan cara dokumen pembagian kuota tidak dibuka ke publik,
sehingga sulit diawasi.
Hal ini menimbulkan Implikasi Politik dan Hukum.
Meski status Yaqut saat ini masih sebatas dicegah bepergian dan
diperiksa sebagai saksi, konsekuensi politiknya besar. Publik menilai, jika
terbukti, ini akan menjadi salah satu skandal haji terbesar dalam sejarah
Indonesia modern.
Bagi KPK, ini ujian serius untuk membongkar rantai keuntungan yang
diduga melibatkan pejabat, birokrat, dan pengusaha. Bagi pemerintah, ini alarm
keras bahwa tata kelola haji harus direformasi total.
Para pengamat haji menegaskan, ada tiga langkah mendesak:
1. Segera audit secara independen terhadap seluruh kuota
haji, reguler maupun khusus.
2. Revisi regulasi agar celah kebijakan yang bisa dimanipulasi tertutup
rapat.
3. Publikasi daftar penerima kuota agar masyarakat bisa mengawasi
langsung.
Jika langkah ini diabaikan, kasus seperti ini akan terus berulang, hanya
berganti tokoh dan tahun.
Masyarakat meminta sudah saatnya Memutus Rantai Bisnis Ibadah.
0 komentar:
Post a Comment