Jakarta UKN
Dunia hukum
Indonesia kembali diguncang oleh kabar mengejutkan. Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan hukum,
justru kini berada di kursi tergugat. Penyebabnya? Mereka dituding melakukan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) karena tak kunjung mengeksekusi terpidana kasus
pencemaran nama baik, Silfester Matutina, yang sudah berkekuatan hukum tetap
alias inkrah.
Baca Juga yaitu
1. Senayan di Demo
Besar-besaran Minta DPR Dibubarkan, Adakah Dalang di Baliknya?
2. Terungkan banyak pemda yang kurang peduli terhadap skor SPI KPK
3. Heboh! Rakyat Siap
Duduki Senayan, Gelombang Massa Teriakkan “Bubarkan DPR RI pada 25 Agustus 2025!”
4. Immanuel Ebenezer Tersangka KPK, Malah Minta
Amnesti ke Istana
5. Waduh ! Wamenaker
Noel Jadi Dalang Pemerasan Sertifikat K3, 11 Orang Dijadikan Tersangka KPK
6. Awal Mula Terkuaknya
72 Siswa 'Siluman' di SMAN 5 Bengkulu, Kepala Sekolah Murka
7. Gempar! Wamenaker
Noel Ebenezer Terjaring OTT KPK, Terseret Dugaan Pemerasan Perusahaan
Gugatan tersebut
bukan isapan jempol belaka. Kantor hukum Dhen & Partners Advocates and
Legal Consultants, yang diwakili oleh advokat Heru Nugroho dan R. Dwi Priyono,
resmi mendaftarkan gugatan ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan
perkara ini telah teregistrasi dengan nomor 847/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL. Agenda
sidang perdana dijadwalkan berlangsung pada Kamis, 28 Agustus 2025.
Kronologi Kasus
yaitu Dari Vonis Inkrah Hingga Eksekusi Mangkrak. Kasus ini berawal dari vonis
pengadilan terhadap Silfester Matutina atas perkara pencemaran nama baik. Setelah
melalui proses panjang, mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi,
Silfester dinyatakan bersalah dan vonisnya sudah berkekuatan hukum tetap.
Namun, yang
terjadi sungguh di luar dugaan. Meski putusan telah inkrah, eksekusi tak
kunjung dilaksanakan. Aparat kejaksaan, yang berdasarkan Pasal 270 KUHAP
memiliki kewajiban mengeksekusi putusan pengadilan, justru diam seribu bahasa.
Pihak penggugat
menilai tindakan itu bukan sekadar kelalaian, melainkan perbuatan melawan hukum
yang mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia.
“Perbuatan
tersebut sangat patut diduga sebagai PMH, karena apa yang seharusnya
dilaksanakan oleh Kejaksaan justru tidak dijalankan. Ironi besar ketika aparat
penegak hukum sendiri yang melanggar hukum,” tegas Heru Nugroho dalam
keterangannya.
Gugatan ini tidak
hanya diarahkan pada Kejaksaan Agung, tetapi juga mencakup Kejaksaan Tinggi DKI
Jakarta, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, serta Hakim Pengawas PN Jakarta
Selatan. Dengan kata lain, gugatan ini menyoroti rantai kelembagaan yang
lengkap, dari pusat hingga daerah.
Langkah hukum ini
dianggap sangat berani, bahkan bisa menjadi momentum penting dalam sejarah
peradilan Indonesia. Menggugat Kejaksaan Agung bukan perkara kecil. Sebab,
institusi ini memiliki kewenangan besar, termasuk dalam proses penuntutan dan
eksekusi perkara.
Namun, keberanian
ini didorong oleh satu alasan mendasar: supremasi hukum harus ditegakkan. Jika
aparat hukum sendiri bisa mengabaikan putusan pengadilan yang sudah inkrah,
maka prinsip equality before the law hanya akan menjadi jargon kosong.
Dasar Hukum
Gugatan, KUHAP dan UU Kejaksaan. Dalam permohonan yang diajukan, penggugat
menekankan dasar hukum yang sangat jelas yaitu :
1. Undang-undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menegaskan kewajiban jaksa dalam
mengeksekusi putusan pengadilan.
2. Pasal 270 KUHAP, yang
menyatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh jaksa.
Dengan dua dasar
hukum itu, seharusnya tidak ada alasan bagi Kejaksaan untuk menunda eksekusi.
Fakta bahwa eksekusi tak kunjung dilakukan justru menimbulkan kecurigaan adanya
faktor lain di luar hukum.
“Apakah ada
permainan politik? Apakah ada intervensi kekuasaan atau kepentingan tertentu?
Inilah pertanyaan besar yang kini muncul di ruang publik,” ujar Dwi Priyono
dengan nada kritis.
Preseden Buruk
Penegakan Hukum. Para penggugat menilai bahwa kelalaian atau bahkan kesengajaan
menunda eksekusi ini bisa menciptakan preseden buruk. Jika masyarakat melihat
ada terpidana yang bebas berkeliaran meski sudah divonis bersalah, kepercayaan
terhadap hukum akan semakin runtuh.
“Ini bahaya
besar. Rakyat bisa berpikir bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke
atas. Bahwa yang punya kuasa atau koneksi bisa lolos dari jeratan hukum, meski
putusannya sudah inkrah,” lanjut Heru Nugroho.
Dalam konteks
inilah, gugatan terhadap Kejagung dipandang sebagai upaya untuk menyelamatkan
wajah hukum Indonesia. Jika dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan kasus
serupa akan terjadi lagi di masa depan.
Publik mungkin
bertanya-tanya, siapa sebenarnya Silfester Matutina? Ia dikenal sebagai sosok
yang cukup kontroversial, beberapa kali terseret dalam kasus hukum, termasuk
perkara pencemaran nama baik yang kini menjeratnya.
Meski telah
divonis, keberadaan Silfester yang masih bebas dianggap sebagai bentuk
ketidakadilan bagi korban. “Bayangkan, korban sudah disakiti nama baiknya, lalu
menempuh jalur hukum panjang, menang di pengadilan, tapi ujung-ujungnya vonis
tak dijalankan. Apa artinya keadilan kalau begini?” kata seorang praktisi hukum
yang enggan disebut namanya.
Hingga berita ini
diturunkan, pihak Kejaksaan Agung belum memberikan penjelasan resmi terkait
gugatan tersebut. Namun, tekanan publik semakin besar. Media sosial dipenuhi komentar
pedas yang menuding adanya “main mata” antara aparat penegak hukum dan pihak
terpidana.
“Kalau rakyat
kecil pasti langsung ditangkap dan dieksekusi. Tapi kalau orang punya koneksi,
bisa aman-aman saja. Inilah wajah asli hukum kita!” tulis seorang warganet di
platform X (dulu Twitter).
Komentar senada
juga ramai di Facebook dan Instagram, menandakan isu ini telah menjadi
perhatian publik luas.
Kasus ini bukan
sekadar gugatan perdata. Ia bisa menjadi momentum penting untuk menguji
integritas penegak hukum di Indonesia. Apakah aparat berani menjalankan
kewajiban sesuai aturan, atau justru tunduk pada tekanan dan kepentingan
tertentu?
Sidang pertama
pada 28 Agustus 2025 diyakini akan menjadi sorotan publik. Jika gugatan ini
dikabulkan, maka Kejaksaan harus segera mengeksekusi putusan terhadap
Silfester. Sebaliknya, jika gugatan ditolak, kepercayaan publik terhadap
peradilan bisa semakin merosot.
Kasus Silfester
hanyalah satu contoh dari sekian banyak masalah eksekusi vonis di negeri ini.
Ada banyak kasus lain di mana terpidana yang sudah divonis inkrah tak kunjung
dieksekusi, entah karena alasan teknis, administratif, atau bahkan politis.
Hal ini menunjukkan
adanya ketidakpastian hukum yang akut. Padahal, salah satu syarat negara hukum
adalah kepastian hukum. Tanpa itu, masyarakat bisa kehilangan rasa percaya, dan
hukum tak lagi dipandang sebagai panglima.
Kini semua mata
tertuju ke PN Jakarta Selatan, tempat gugatan ini disidangkan. Publik menanti
apakah hakim akan berani bersikap independen, atau justru ikut larut dalam arus
status quo.
Apa pun hasilnya,
gugatan ini sudah membuka tabir tentang lemahnya eksekusi hukum di Indonesia.
Lebih jauh, ia menjadi peringatan keras bahwa tanpa keberanian menegakkan hukum
secara adil, bangsa ini hanya akan terus dilingkupi ketidakpastian dan
ketidakadilan.
0 komentar:
Post a Comment