Jakarta UKN
Sebuah aturan baru yang menghebohkan jagat pertanahan di Indonesia tengah menjadi sorotan tajam. Pemerintah dikabarkan tengah menerapkan kebijakan yang menyangkut kepemilikan tanah bersertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam ketentuan yang beredar, disebutkan bahwa tanah yang sudah bersertifikat dan tidak dimanfaatkan selama dua tahun dapat diambil alih oleh negara.
Kebijakan ini menuai kontroversi tajam. Terutama karena berpotensi besar mengorbankan masyarakat kecil. Banyak dari mereka mewarisi tanah dari orang tua atau leluhurnya. Namun karena alasan keterbatasan ekonomi, mereka belum mampu mengelola atau memanfaatkan tanah tersebut. Artinya, tanpa kesalahan apapun, mereka bisa kehilangan aset berharga yang mungkin satu-satunya peninggalan orang tua mereka.
“Ini benar-benar tidak adil. Tanah itu kami warisi, bukan curi. Tapi kami malah bisa kehilangan karena belum punya uang untuk membangunnya,” ungkap Ujang, di Empat Lawang yang mewarisi sebidang tanah dari mendiang ayahnya.
Kasus seperti Ujang bukanlah satu atau dua. Di berbagai daerah, banyak warga memiliki tanah bersertifikat yang belum dimanfaatkan, baik karena keterbatasan finansial, status pekerjaan, maupun alasan sosial dan budaya. Dalam skenario aturan ini, mereka semua terancam kehilangan hak mereka hanya karena tidak memiliki cukup modal untuk mengaktifkan tanah mereka dalam waktu dua tahun.
Tak sedikit yang menduga bahwa aturan ini akan lebih menguntungkan pihak-pihak besar seperti pengusaha properti, developer, hingga investor besar, yang selama ini kesulitan mencari lahan baru. “Kalau tanah-tanah masyarakat diambil negara dan dialihkan ke investor, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari aturan ini?” Dicko menduga-duga di kabupaten Empat Lawang.
Dikhawatirkan pula, kebijakan ini dapat memicu konflik horizontal di masyarakat, khususnya di desa-desa yang sensitif terhadap isu tanah. Ketika negara mengambil tanah yang sudah diwariskan secara turun-temurun, bisa jadi warga akan merasa tidak lagi dilindungi oleh sistem hukum agraria yang seharusnya berpihak pada rakyat kecil.
Hingga kini belum ada pernyataan resmi rinci dari Kementerian ATR/BPN mengenai detail teknis dari aturan ini. Namun wacana ini sudah cukup memunculkan kecemasan di tengah masyarakat. Para ahli hukum agraria meminta agar pemerintah menjelaskan apa definisi dimanfaatkan, dan bagaimana mekanisme pengambilalihan akan dijalankan.
“Kalau tidak hati-hati, ini bisa menjadi sumber konflik agraria baru yang jauh lebih besar,” tegas Dr. Aryo Wibowo, pakar hukum tanah dari Universitas Gadjah Mada.
Jika aturan ini diberlakukan tanpa perlindungan khusus bagi masyarakat kecil, maka Indonesia bisa menghadapi gelombang besar ketidakpuasan yang meruncing ke konflik sosial. Pemerintah perlu meninjau ulang dan memastikan bahwa semangat pengaturan ini tidak mengorbankan rakyat yang tidak bersalah.
Karena jika tidak, yang terjadi bukanlah keadilan agraria, melainkan pemiskinan struktural yang terselubung atas nama penertiban lahan. Satu pertanyaan yang menggema di benak publik "Apakah tanah kami hanya bisa dimiliki jika kami kaya?". (TIM)
0 komentar:
Post a Comment