Jakarta UKN
Aroma politik nasional kembali
memanas. Kali ini bukan soal kebijakan atau konflik koalisi, melainkan menyeret
nama Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, ke ruang
pengadilan. Seorang warga sipil bernama Subhan Palal secara resmi melayangkan
gugatan perdata terhadap Gibran ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan itu
tercatat dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst pada Jumat, 29 Agustus
2025.
Baca Juga yaitu
1. Nadiem Makarim Resmi
Jadi Tersangka Korupsi Chromebook, Dari Ruang Menteri ke Meja Hijau
2. Tiga Desa di Talang
Padang Sosialisasikan Bahaya Narkoba
3. Prabowo Perintahkan
Tindak Tegas Massa Anarkis. Demokrasi di Ujung Tanduk atau Penegakan Hukum ?
4. 7 Brimob Diperiksa
Propam Usai Affan Tewas Dilindas Rantis, Benarkah Akan Ada Tersangka?”
5. Polisi Segel Dapur MBG
di Lebong: 456 Siswa Jadi Korban, Kapolda Turun Tangan!
6.
Usai Santap Makan Bergizi Gratis, RSUD Lebong Kewalahan, Polisi Turun
Tangan”
7. Iuran BPJS Naik
Rakyat Kecil dan Menengah menjerit
Isu yang dipersoalkan bukan hal
sepele: keabsahan ijazah SMA Gibran. Jika benar terbukti bermasalah, maka
gugatan ini bisa menjadi badai politik besar yang mengguncang legitimasi sang
wakil presiden sekaligus mempermalukan lembaga penyelenggara pemilu yang
meloloskannya.
Dalam wawancara dengan
wartawan, Subhan Palal mengaku langkah ini murni sebagai upaya hukum demi
menjaga marwah konstitusi. Menurutnya, Gibran tidak memiliki ijazah sekolah
menengah atas (SMA) atau sederajat yang sah dari lembaga pendidikan di
Indonesia.
“Saya menggugat Gibran itu
karena Gibran tidak punya ijazah SMA sederajat di Indonesia,” tegas Subhan pada
Kamis, 4 September 2025.
Subhan menuding, dokumen yang
dipakai Gibran saat mendaftar sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024
hanyalah sertifikat pendidikan dari luar negeri, yaitu dari Orchid Park
Secondary School, Singapura dan UTS Insearch Sydney, Australia. Menurutnya,
kedua sertifikat itu tidak bisa otomatis disetarakan dengan ijazah SMA di
Indonesia.
Subhan Palal mengajukan tiga
poin utama dalam gugatannya:
1. Tidak Ada Ijazah SMA di
Indonesia
Gibran hanya memiliki dokumen
pendidikan luar negeri, bukan ijazah resmi setara SMA yang dikeluarkan oleh
lembaga pendidikan di tanah air.
2. Penyetaraan Bukan Kewenangan
KPU
Menurut Subhan, KPU tidak punya
kapasitas untuk menilai atau menyetarakan dokumen pendidikan luar negeri.
Urusan itu semestinya menjadi ranah Kementerian Pendidikan Tinggi (Dikti).
3. Aturan Pemilu Tidak Mengenal
Penyetaraan di Level SMA
Dalam aturan kepemiluan, syarat
ijazah SMA atau sederajat harus jelas dan sah. Jika hanya mengandalkan
sertifikat luar negeri tanpa penyetaraan resmi, maka menurut Subhan, itu cacat
syarat.
“Kalau disetarakan itu
kompetensinya bukan KPU, tapi Dikti. Sementara aturan pemilu tidak mengenal
penyetaraan di level SMA,” ungkap Subhan dengan nada serius.
Agar lebih jelas, berikut
kronologi singkat perjalanan kasus ini:
a. Pada 29 Agustus 2025, Subhan
Palal resmi mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
b. Pada 3 September 2025, PN
Jakarta Pusat memproses administrasi dan menetapkan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN
Jkt.Pst.
c. Pada 4 September 2025, Subhan
membeberkan alasan gugatannya kepada publik, menyebut Gibran tidak memiliki
ijazah SMA Indonesia.
d. Pada 8 September 2025 (jadwal
sidang perdana), Majelis hakim PN Jakarta Pusat akan menggelar sidang perdana
gugatan ini. Sidang diprediksi bakal menarik perhatian luas media dan publik,
mengingat ini menyangkut figur wakil presiden.
Pertanyaan besar muncul,
mengapa masalah ijazah SMA seorang pejabat bisa berujung gugatan hukum?, Jawabannya
sederhana, legitimasi konstitusional. Dalam aturan pemilu, syarat pencalonan
presiden dan wakil presiden salah satunya adalah minimal berpendidikan SMA atau
sederajat. Jika ternyata dokumen pendidikan Gibran tidak memenuhi kriteria itu,
maka ada dugaan proses pencalonannya di Pemilu 2024 cacat hukum.
Bukan hanya menyangkut pribadi
Gibran, tetapi juga menyentuh kredibilitas KPU, Bawaslu, dan Mahkamah
Konstitusi yang saat itu menerima dan mengesahkan pencalonannya.
Isu ini langsung memantik
perdebatan di ruang publik. Sebagian warganet menilai gugatan ini hanya manuver
politik untuk menjatuhkan legitimasi Gibran, apalagi setelah setahun lebih ia
menjabat sebagai wakil presiden.
Namun, sebagian lainnya
menganggap gugatan ini serius dan harus dijawab dengan bukti otentik. “Kalau
memang ijazahnya sah, kenapa tidak dipublikasikan saja dengan terang
benderang?” tulis seorang warganet di media sosial X.
Tak sedikit pula yang
membandingkan kasus ini dengan kontroversi ijazah tokoh-tokoh politik
sebelumnya, yang kerap muncul menjelang atau setelah kontestasi pemilu.
Secara hukum, Gibran memiliki
dua pilihan sikap:
1. Menghadapi Gugatan di
pengadilan dengan menunjukan bukti-bukti pendidikan yang sah.
2. Mengajukan Eksepsi dengan
menyatakan gugatan Subhan tidak relevan karena masalah keabsahan ijazah sudah
diverifikasi oleh KPU dan tidak pernah digugat di MK.
Namun, opsi kedua bisa memicu
persepsi publik bahwa Gibran “menghindar” dari transparansi.
Kasus ini berpotensi punya tiga
dampak besar:
1. Mengguncang Legitimasi
Pemerintah
Jika benar ijazah bermasalah,
posisi Gibran sebagai wakil presiden bisa digugat secara konstitusional
2. Menyeret KPU dan Bawaslu
KPU sebagai lembaga yang
meloloskan pencalonan Gibran bisa dituding lalai atau bahkan melakukan
pelanggaran serius.
3. Mengubah Peta Politik 2029
Gibran yang digadang-gadang
sebagai calon kuat di Pilpres 2029 bisa kehilangan reputasi bila kasus ini
terus berlarut.
Sidang perdana pada Senin, 8
September 2025 diperkirakan bakal ramai. Media nasional sudah menyiapkan
peliputan besar-besaran. Publik menanti apakah Subhan punya bukti kuat atau
hanya isu yang dibesar-besarkan.
Jika Subhan gagal membuktikan,
gugatan ini bisa berbalik menjadi bumerang politik baginya dan pihak-pihak yang
mendukung. Namun jika bukti-bukti yang diajukan solid, bukan tidak mungkin
Indonesia akan menghadapi salah satu krisis politik terbesar pasca-reformasi.
Kasus gugatan ijazah Gibran ini
menjadi ujian besar bagi demokrasi dan sistem hukum Indonesia. Apakah hukum
bisa tegak lurus tanpa pandang bulu meski yang digugat adalah seorang wakil
presiden? Ataukah kasus ini hanya akan berakhir sebagai riak kecil di tengah
lautan politik yang sudah biasa dengan intrik?
Satu hal yang pasti, semua mata
kini tertuju pada PN Jakarta Pusat. Sidang perdana tinggal hitungan hari, dan
publik menunggu jawaban: Benarkah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak
punya ijazah SMA Indonesia? (TIM)
0 komentar:
Post a Comment