Jakarta UKN
Rencana Menteri
Keuangan untuk menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan kembali memicu gelombang kritik. Kebijakan ini muncul di saat
masyarakat kelas menengah ke bawah masih berjuang menghadapi kenaikan harga
kebutuhan pokok dan sulitnya mencari penghasilan.
Baca Juga yaitu
1. Analisis Hukum atas Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI
bebarapa hari yang lalu
2. Geger di Musi Rawas!
Oknum Pejabat Dinsos Diduga Intimidasi Wartawan, Ketua IWO.I Angkat Suara: “Ini
Serangan terhadap Kebebasan Pers!”
3. Jejak Panjang
Penculikan dan Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI Cempaka Putih
4. Kejagung Digugat
karena Diduga ‘Main Mata’, Eksekusi Silfester Matutina Mangkrak Bertahun-tahun!
5. Senayan di Demo
Besar-besaran Minta DPR Dibubarkan, Adakah Dalang di Baliknya?
6. Terungkan banyak pemda yang kurang peduli terhadap skor SPI KPK
7. Heboh! Rakyat Siap
Duduki Senayan, Gelombang Massa Teriakkan “Bubarkan DPR RI pada 25 Agustus 2025!”
Namun kementerian
keuangan berdalih bahwa kenaikan iuran diperlukan demi menjaga keberlanjutan
layanan kesehatan. Defisit anggaran BPJS dianggap berisiko mengganggu
distribusi obat dan pelayanan rumah sakit. “Kalau tidak ada penyesuaian,
layanan bisa lumpuh. Akhirnya masyarakat sendiri yang rugi,” ujar seorang
pejabat Kemenkeu.
Dengan kebijakan
ini, masyarakat kecil justru menilai kebijakan ini sebagai tambahan beban. Siti
(42), pedagang gorengan di Jakarta Timur, mengaku keberatan. “Penghasilan makin
seret, harga-harga naik, sekarang iuran juga mau naik. Berat sekali,” keluhnya.
Ungkapan serupa
disampaikan Arif (30), buruh pabrik di Bekasi. Menurutnya, meski BPJS penting,
sering kali pelayanan tidak sebanding dengan iuran yang dibayar. “Sering
ditolak rumah sakit karena alasan penuh. Jadi buat apa bayar lebih mahal?”
ujarnya.
Di media sosial,
ribuan warganet turut meluapkan kekecewaan. Tagar BPJSNaik pun sempat ramai
diperbincangkan.
Sebagian pengamat
mendukung kebijakan ini. Ekonom kesehatan UI, Dr. Andri Nugroho, menyebut
kenaikan iuran sebagai keputusan pahit namun perlu. “Biaya medis terus naik.
Kalau iuran stagnan, BPJS bisa kolaps. Justru masyarakat kecil yang paling
dirugikan kalau sistemnya berhenti,” jelasnya.
Ia menilai iuran
di Indonesia masih lebih rendah dibanding standar internasional. “Kalau ingin
pelayanan setara, masyarakat harus berani membayar lebih,” tambahnya.
Sebaliknya,
kritik datang dari pengamat sosial. Direktur Lembaga Kajian Sosial Ekonomi
Nusantara, Mira Sulastri, menilai kebijakan ini tidak tepat waktu. “Rakyat baru
pulih dari pandemi, harga kebutuhan melonjak, justru ditambah beban baru.
Pemerintah seolah tidak peka,” katanya.
Mira juga
menyoroti pelayanan BPJS yang masih bermasalah. “Antre panjang, obat tidak
tersedia, bahkan diskriminasi terhadap pasien BPJS masih sering terjadi.
Naikkan iuran tanpa perbaikan layanan sama saja menagih uang untuk pelayanan
yang buruk,” tegasnya.
Pengamat politik
menilai kebijakan ini bisa menjadi bumerang. “Dalam situasi politik yang
sensitif, kebijakan tidak populer seperti ini berisiko menurunkan kepercayaan
publik,” kata Prof. Bambang Sujatmiko dari UGM. Ia menyarankan kenaikan
dilakukan bertahap agar masyarakat bisa beradaptasi.
0 komentar:
Post a Comment