Lebong UKN
Ratusan
anak sekolah di Kabupaten Lebong mendadak dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Lebong pada Rabu siang (27/8). Tangisan anak-anak yang masih mengenakan
seragam sekolah menggema di lorong Instalasi Gawat Darurat (IGD). Sebanyak 150
siswa dari tingkat PAUD, TK, hingga SD terkapar dengan gejala mual, muntah, dan
lemas, setelah menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang seharusnya
menjadi program unggulan pemerintah daerah.
Baca Juga yaitu
1. Iuran BPJS Naik Rakyat
Kecil dan Menengah menjerit
2. Analisis Hukum atas Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI
bebarapa hari yang lalu
3. Geger di Musi Rawas!
Oknum Pejabat Dinsos Diduga Intimidasi Wartawan, Ketua IWO.I Angkat Suara: “Ini
Serangan terhadap Kebebasan Pers!”
4. Jejak Panjang
Penculikan dan Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI Cempaka Putih
5. Kejagung Digugat
karena Diduga ‘Main Mata’, Eksekusi Silfester Matutina Mangkrak Bertahun-tahun!
6. Senayan di Demo
Besar-besaran Minta DPR Dibubarkan, Adakah Dalang di Baliknya?
7. Terungkan banyak pemda yang kurang peduli terhadap skor SPI KPK
Alih-alih
menambah semangat belajar, santapan bergizi itu justru menjerumuskan para
penerima ke dalam tragedi massal. RSUD Lebong kewalahan menangani gelombang
pasien cilik yang berdatangan sejak pagi hingga siang.
“Sejak
pagi kami menerima pasien kecil beruntun, jumlahnya terus bertambah hingga
mencapai sekitar 150 orang,” ungkap Plt Direktur RSUD Lebong, Eni Efriyani,
dengan nada letih.
Ruang
IGD yang biasanya hanya menampung belasan pasien, kini penuh sesak. Beberapa
anak bahkan harus ditangani di kursi tunggu, sementara perawat berlarian ke
sana kemari membawa obat, selang infus, hingga kantong muntahan.
Pihak
RSUD langsung menurunkan dokter spesialis anak untuk memastikan kondisi para
siswa tidak memburuk. Sebagian besar mengalami muntah berulang, pusing, dan
tubuh lemas.
“Alhamdulillah
sampai sore tidak ada yang kritis, tapi kami tetap siaga karena gejala
keracunan makanan bisa berkembang cepat,” jelas Eni.
Besarnya
jumlah pasien membuat RSUD hampir lumpuh. Antisipasi pun dilakukan dengan
menyiapkan aula Polres Lebong sebagai ruang perawatan darurat bila kapasitas
rumah sakit tidak lagi mencukupi.
Langkah
cepat itu disampaikan oleh Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Lebong, Fachrurozi, yang langsung terjun bersama pihak kepolisian.
“Kami
tidak ingin ada anak yang terlantar. Jika RSUD penuh, Polres sudah siap
menampung pasien di aula,” tegasnya.
Ironisnya,
menu yang disajikan sebenarnya sederhana, mi, bakso, sayuran, telur, dan susu.
Kombinasi yang di atas kertas tampak sehat dan mengenyangkan, namun justru
memicu keracunan massal.
Belum
ada kepastian apa yang menjadi sumber masalah. Apakah bahan makanan yang basi?
Proses pengolahan yang kurang higienis? Atau distribusi yang tidak sesuai
standar keamanan pangan?
Satu
hal yang pasti, anak-anak dari empat sekolah swasta menjadi korban. Mereka
adalah siswa SD IT Al Azhar, PAUD IT Al Azhar, SD Muhammadiyah 1 A Ujung
Tanjung, dan TK IT Tabeak Kauk.
“Setelah
makan, beberapa menit kemudian anak-anak mulai muntah. Kami panik, lalu
melarikan mereka ke RSUD,” cerita seorang guru sambil menggendong muridnya yang
masih pucat.
Di
halaman RSUD, pemandangan memilukan terlihat jelas. Puluhan orang tua berlarian
mencari anaknya di antara kerumunan pasien. Ada yang menangis histeris, ada
pula yang duduk lemas menunggu kabar.
“Saya
cuma bisa berdoa, semoga anak saya selamat. Tadi muntah terus-terusan,” ucap
Yanti (34), ibu dari siswa TK IT Tabeak Kauk, dengan mata berkaca-kaca.
Seorang
ayah bahkan sempat bersitegang dengan petugas rumah sakit karena khawatir
anaknya tidak segera ditangani. Situasi mencekam itu menggambarkan betapa
rentannya sebuah program ketika eksekusi di lapangan jauh dari kata sempurna.
Kasus
ini sontak membuat program Makan Bergizi Gratis (MBG) dipertanyakan. Program
yang digadang-gadang untuk meningkatkan gizi pelajar justru menimbulkan
tragedi.
Plt
Kadis Pendidikan Fachrurozi mengakui, pelaksanaan MBG di Kabupaten Lebong
memang baru berjalan. Pihaknya sendiri masih mendata jumlah penerima dan sekolah
yang ikut serta.
“Programnya
baru berjalan, mungkin ada kendala di lapangan yang harus segera dievaluasi,”
katanya.
Namun,
publik sudah terlanjur geram. Banyak pihak menilai, kurangnya pengawasan
terhadap kualitas makanan bisa menjadi bom waktu yang mencederai kepercayaan
masyarakat.
Polres
Lebong kini turun tangan. Mereka mulai menelusuri rantai penyediaan makanan:
siapa pemasok bahan, bagaimana proses pengolahan, dan sejauh mana pengawasan
dari pemerintah daerah.
Seorang
perwira di lapangan menyebut, sampel makanan sudah diamankan untuk uji
laboratorium. “Kami tidak ingin berasumsi. Hasil laboratorium akan memastikan
penyebab keracunan,” ujarnya singkat.
Tragedi
ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini murni kecerobohan teknis penyedia
makanan, atau kegagalan sistemik dalam perencanaan program MBG?
Sejumlah
pengamat pendidikan dan kesehatan menilai, kasus keracunan massal tidak boleh
dianggap insiden biasa. Ada prosedur keamanan pangan yang seharusnya diterapkan
dengan ketat, mulai dari pemilihan bahan, proses memasak, penyimpanan, hingga
distribusi ke sekolah.
“Jika
150 anak bisa sakit dalam sehari, itu artinya ada masalah serius dalam sistem.
Bukan sekadar satu telur busuk atau sayur basi,” ujar seorang aktivis kesehatan
masyarakat di Bengkulu.
Fenomena
keracunan akibat program makanan gratis sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus serupa kerap muncul di sejumlah daerah.
Kelemahan
pengawasan dan standar higienitas yang longgar sering kali menjadi akar
masalah. Namun, hingga kini evaluasi menyeluruh belum terlihat nyata. Kasus di
Lebong menjadi pengingat keras bahwa niat baik tanpa eksekusi yang cermat
justru bisa membahayakan generasi penerus bangsa.
Meski
sebagian besar siswa sudah ditangani dengan baik, trauma mendalam masih
membekas di hati orang tua. Beberapa bahkan mengaku ragu jika program MBG
kembali dijalankan.
“Kalau
begini, saya takut anak saya ikut lagi. Lebih baik saya bekalkan makanan dari
rumah saja,” ujar seorang wali murid SD Muhammadiyah dengan wajah khawatir.
Namun,
ada pula yang berharap program ini tetap berjalan, asalkan ada pengawasan ketat
dan transparansi dalam pengelolaan.
“Programnya
bagus, tapi harus benar-benar diawasi. Jangan sampai anak-anak jadi korban
lagi,” kata seorang tokoh masyarakat di Ujung Tanjung.
Tragedi
siswa keracunan MBG di Lebong bukan
sekadar insiden lokal. Kasus ini mencerminkan rapuhnya sistem pengawasan
program publik yang menyangkut kesehatan anak-anak.
Pemerintah
daerah kini menghadapi PR besar yaitu menyelamatkan kepercayaan masyarakat,
memperbaiki mekanisme distribusi makanan, serta memastikan setiap suapan yang
masuk ke mulut anak benar-benar aman.
Sementara
itu, tangisan, muntahan, dan wajah pucat anak-anak di RSUD Lebong hari ini akan
terus menjadi pengingat bahwa kecerobohan sekecil apa pun bisa berdampak besar
pada masa depan generasi penerus. (TIM)
0 komentar:
Post a Comment