Empat Lawang. UKN
Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia larut dalam euforia perayaan
Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Di berbagai penjuru tanah air,
bendera merah putih berkibar dengan gagah, sekolah-sekolah dan kantor-kantor
mengadakan upacara bendera dengan penuh khidmat, dan di desa-desa maupun
kota-kota, suara riuh perlombaan khas tujuh belasan terdengar begitu semarak.
Dari lomba panjat pinang yang penuh tawa hingga makan kerupuk dengan gaya
jenaka, semua menjadi bagian dari ritual tahunan yang ditunggu-tunggu
masyarakat.
Baca Juga yaitu
1. Koq, Wagub Jateng Jadi Irup Upacara 17 Agustus diPati, ke Mana Bupati Sudewo?
2. Bupati Empat Lawang Pimpin Upacara HUT RI ke-80
tahun 2025, Begini Momen Haru yang Bikin Bangga
3. Terungkan banyak pemda yang kurang peduli terhadap skor SPI KPK
4. Korupsi Musuh Bersama Integritas Harga Mati.
5. Pemkot Lubuk Linggau naikan PBB 200 %, warga mengeluh
![]() |
foto istimewa |
Namun, di balik gegap gempita itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam
yaitu apakah generasi masa kini,
terutama kaum milenial dan Gen Z, sungguh memahami makna kemerdekaan yang
mereka rayakan? Apakah mereka sekadar merayakan tradisi tahunan dengan semarak
hiburan, atau benar-benar menyelami nilai luhur dari perjuangan para pahlawan
bangsa?
Romantika Perjuangan yaitu Dari
Penjara ke Kursi Kepemimpinan. Sejarah mencatat, para pemimpin bangsa di masa
pra-kemerdekaan bukanlah sosok yang lahir dari kenyamanan. Mereka justru banyak
yang ditempa di balik jeruji penjara penjajah, diasingkan ke daerah terpencil,
bahkan hidup dalam penderitaan sebelum akhirnya menjadi tokoh yang dihormati.
Lihatlah Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, hingga Tan Malaka.
Mereka merasakan getirnya penjara Belanda, tetapi justru dari ruang sempit
itulah ide-ide besar tentang kebangsaan, kemerdekaan, dan keadilan sosial
lahir. Mereka bukan sekadar politisi, melainkan pejuang ideologis yang
mengorbankan kebebasan pribadinya demi kebebasan seluruh bangsa.
Ironisnya, kondisi ini berbanding terbalik dengan fenomena kepemimpinan
di era milenial. Jika dulu seorang tokoh masuk penjara dulu baru jadi pemimpin,
kini kita kerap menyaksikan orang-orang menjadi pemimpin dulu baru kemudian
masuk penjara akibat kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau skandal
moral. Fakta ini menimbulkan refleksi getir yaitu apakah nilai kepemimpinan di negeri ini telah
bergeser dari semangat pengorbanan menjadi semangat mencari keuntungan pribadi?
Kemerdekaan dalam Kacamata Generasi Milenial. Generasi muda kini tumbuh
dalam dunia yang serba instan. Teknologi digital menawarkan kecepatan, hiburan
tanpa batas, dan akses informasi tanpa sekat. Namun, apakah derasnya arus
informasi itu membuat mereka lebih memahami sejarah dan makna kemerdekaan?
Tidak selalu.
Banyak anak muda yang mengenal peringatan 17 Agustus hanya sebagai hari
libur nasional, momen lomba seru, atau kesempatan untuk mengunggah foto di
media sosial dengan caption “Dirgahayu RI”. Padahal, di balik itu ada makna
yang jauh lebih dalam yaitu kemerdekaan
bukan hadiah, melainkan hasil dari perjuangan berdarah-darah.
Generasi milenial seringkali lupa bahwa dahulu nenek moyang mereka harus
berkorban harta, jiwa, bahkan nyawa demi mengusir penjajah. Ironisnya, di tengah
kebebasan yang telah diraih, sebagian dari mereka terjebak dalam sikap apatis
terhadap politik, malas belajar sejarah, atau bahkan menyepelekan nilai
nasionalisme dengan dalih “zaman sudah berubah”.
Seremonial atau Substansi?. Peringatan kemerdekaan kini lebih sering
dilihat sebagai agenda rutin seremonial. Upacara dilaksanakan, bendera
dikibarkan, lagu kebangsaan dinyanyikan, lalu setelah itu kehidupan kembali
seperti biasa tanpa makna lanjutan.
Padahal, yang jauh lebih penting dari sekadar seremoni adalah refleksi
makna yaitu apakah kita sudah
benar-benar merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan? Apakah
cita-cita proklamasi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 sudah tercapai?
Jika kita jujur, masih banyak pekerjaan rumah besar bangsa ini yaitu
* Korupsi yang menggerogoti sendi-sendi pemerintahan.
* Kesenjangan sosial yang semakin tajam antara kaya dan miskin.
* Ketidakadilan hukum yang sering tajam ke bawah, tumpul ke atas.
* Pengangguran dan kemiskinan yang masih membelenggu jutaan rakyat.
Dalam konteks ini, pertanyaan mendasar muncul yaitu apakah bangsa Indonesia benar-benar sudah
merdeka, atau hanya berpindah dari satu bentuk penjajahan ke bentuk lainnya?
Belajar dari Nilai Luhur Para Pendiri Bangsa. Para pemimpin
pra-kemerdekaan meninggalkan warisan nilai yang amat berharga. Di antaranya
yaitu
1. Keberanian
Berkorban
Mereka rela kehilangan kebebasan pribadi demi
kemerdekaan bangsa. Generasi kini seharusnya belajar menempatkan kepentingan
bersama di atas kepentingan diri.
2. Konsistensi
pada Prinsip
Meski dibui atau diasingkan, mereka tidak goyah
memperjuangkan ideologi kemerdekaan. Generasi sekarang pun perlu memiliki
konsistensi, bukan mudah goyah hanya karena godaan materi atau popularitas.
3. Persatuan
di Atas Perbedaan
Para pendiri bangsa datang dari latar belakang
berbeda, Islamis, nasionalis, sosialis, tetapi mereka bersatu demi Indonesia
merdeka. Sayangnya, generasi kini justru sering terpecah karena polarisasi
politik atau perbedaan kecil di media sosial.
Nilai-nilai inilah yang kini semakin memudar. Oleh karena itu,
peringatan HUT RI seharusnya tidak berhenti pada upacara dan lomba, tetapi
menjadi momentum menanamkan kembali semangat perjuangan dalam konteks kekinian.
Kemerdekaan di Era Globalisasi yaitu Ancaman Penjajahan Baru. Jika dahulu
penjajahan datang dari bangsa asing yang membawa senjata, kini penjajahan hadir
dalam bentuk lain yang lebih halus yaitu
Ø
Penjajahan ekonomi melalui ketergantungan pada
utang luar negeri dan dominasi produk asing.
Ø
Penjajahan budaya melalui hegemoni budaya pop yang
membuat generasi muda lebih hafal lagu K-pop daripada lagu perjuangan.
Ø
Penjajahan digital melalui dominasi platform global
yang mengendalikan data dan informasi masyarakat.
Inilah tantangan baru yang harus disadari generasi kini. Merdeka bukan
hanya soal tidak dijajah secara fisik, melainkan juga soal berdaulat dalam
ekonomi, budaya, politik, dan teknologi.
Refleksi untuk Generasi Penerus. Maka dari itu, peringatan 17 Agustus
seharusnya menjadi momentum refleksi bagi seluruh rakyat, terutama generasi
milenial yaitu
Ø
Sudahkah kita mengisi kemerdekaan dengan prestasi
dan kontribusi nyata?
Ø
Sudahkah kita menjaga integritas dalam kehidupan
sehari-hari?
Ø
Sudahkah kita menghormati pengorbanan para pahlawan
dengan tidak menjadi generasi yang apatis?
Jika belum, maka euforia tujuhbelasan hanya akan menjadi kemeriahan
tanpa makna.
Menjadi Pemuda Merdeka yaitu Dari
Konsumtif ke Produktif. Salah satu tantangan terbesar generasi sekarang adalah
mentalitas konsumtif. Terlalu banyak anak muda yang terjebak dalam gaya hidup pamer
di media sosial, sibuk mengejar tren tanpa memikirkan kontribusi nyata bagi
bangsa.
Padahal, menjadi pemuda merdeka berarti yaitu
v
Merdeka dari kebodohan dengan terus belajar dan
meningkatkan literasi.
v
Merdeka dari kemiskinan dengan berwirausaha,
berinovasi, dan bekerja keras.
v
Merdeka dari mental penjajahan dengan percaya diri
terhadap jati diri bangsa.
Inilah bentuk penghargaan sejati terhadap kemerdekaan yaitu bukan hanya merayakan, tetapi mengisi dengan
karya dan dedikasi.
Merdeka Bukan Sekadar Kata, Tapi Tanggung Jawab. Refleksi HUT RI bukan
untuk membuat kita pesimis, tetapi justru menjadi pengingat agar jangan sampai
pengorbanan para pahlawan menjadi sia-sia.
Merdeka bukan sekadar merdeka dari penjajah, tetapi juga merdeka dari
kebodohan, korupsi, kemiskinan, dan kebiasaan buruk. Jika generasi muda tidak
lagi peduli pada nilai-nilai perjuangan, maka perayaan 17 Agustus hanya tinggal
seremonial tahunan tanpa ruh.
Sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri yaitu apakah kita sudah benar-benar merdeka? Kalau
belum, maka tugas kita semua adalah melanjutkan perjuangan itu. Bukan dengan
mengangkat senjata, melainkan dengan integritas, inovasi, dan persatuan. Karena
pada akhirnya, kemerdekaan sejati adalah ketika seluruh rakyat Indonesia hidup
adil, makmur, dan bermartabat sesuai cita-cita proklamasi. (TIM)
0 komentar:
Post a Comment