Jakarta UKN
Malam Kamis
(28/8) di ibu kota meninggalkan jejak tragis. Seorang pemuda bernama Affan
Kurniawan meregang nyawa usai terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob ketika
demonstrasi memanas di Jakarta. Kabar duka ini sontak menjadi sorotan publik,
menambah panjang daftar kasus kekerasan aparat terhadap warga sipil yang kerap
berakhir tanpa kepastian hukum.
Baca Juga yaitu
1. Polisi Segel Dapur
MBG di Lebong: 456 Siswa Jadi Korban, Kapolda Turun Tangan!
2.
Usai Santap Makan Bergizi Gratis, RSUD Lebong Kewalahan, Polisi Turun
Tangan”
3. Iuran BPJS Naik
Rakyat Kecil dan Menengah menjerit
4. Analisis Hukum atas Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI
bebarapa hari yang lalu
5. Geger di Musi Rawas!
Oknum Pejabat Dinsos Diduga Intimidasi Wartawan, Ketua IWO.I Angkat Suara: “Ini
Serangan terhadap Kebebasan Pers!”
6. Jejak Panjang
Penculikan dan Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI Cempaka Putih
Sehari berselang,
Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri merilis foto mencengangkan: tujuh
anggota Brimob Polda Metro Jaya tampak duduk dengan wajah tegang, mengenakan
pakaian hijau, menjalani pemeriksaan internal. Dalam ruangan itu, Komisioner
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), M. Choirul Anam, hadir langsung
memantau proses.
Namun, yang
membuat publik geram: status hukum ketujuh anggota Brimob itu masih misterius.
Hingga kini, belum ada kepastian apakah mereka akan ditetapkan sebagai
tersangka, hanya dijatuhi sanksi etik, atau justru “menghilang” dari
pemberitaan seiring waktu.
Tragedi itu
berawal dari aksi unjuk rasa menolak kebijakan pemerintah yang berlangsung
sejak sore di pusat Jakarta. Situasi memanas ketika aparat mulai menembakkan
gas air mata untuk membubarkan massa. Suasana kacau. Demonstran berlari mencari
perlindungan, sebagian bersembunyi di gang-gang kecil.
Di tengah
kepanikan, sebuah rantis Brimob melaju kencang ke arah kerumunan. Diduga jarak
pandang terbatas dan situasi tidak terkendali, kendaraan itu menabrak Affan.
Tubuhnya jatuh dan seketika terlindas roda baja rantis. Affan tewas di tempat.
Kesaksian
demonstran menyebut teriakan panik terdengar keras malam itu. “Kami berusaha
memberi tanda agar kendaraan berhenti, tapi tetap melaju,” kata seorang
mahasiswa yang ikut dalam aksi.
Kematian Affan
langsung menjadi headline di media sosial. Tagar KeadilanUntukAffan pun
menggema, menandakan amarah publik yang menolak kasus ini direduksi sekadar
“kecelakaan”.
Propam Polri
kemudian mengumumkan tujuh nama yang diperiksa yaitu Kompol CB, Aipda M, Bripka
R, Briptu G, Bripda M, Bharaka Y, Bharaka G. Namun, Polri tidak merinci siapa
di antara mereka yang mengemudikan kendaraan maut tersebut. Publik pun bertanya,
apakah tujuh nama ini benar-benar pihak yang bertanggung jawab, atau hanya dipajang
untuk meredam kemarahan masyarakat?
Komandan Satuan
Brimob Polda Metro Jaya, Kombes Pol Henik Maryanto, memastikan anggotanya
diperiksa di Mabes Polri.
“Untuk proses
penegakkan hukum saat ini anggota kami melaksanakan proses pemeriksaan di Mabes
Polri,” kata Henik di Markas Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat (29/8).
Pernyataan Henik
terdengar normatif. Namun di balik itu, publik masih menunggu: apakah
pemeriksaan ini sungguh untuk mencari kebenaran, atau sekadar formalitas agar
kasus cepat mereda?
Hingga berita ini
ditulis, status hukum ketujuh anggota Brimob itu belum jelas. Apakah mereka
hanya menjalani pemeriksaan etik internal, atau akan dinaikkan statusnya
menjadi penyidikan pidana?
Sejumlah pengamat
hukum mengingatkan, kematian Affan bukan perkara disiplin. “Ini murni tindak
pidana. Ada nyawa melayang. Jika dibiarkan hanya sebatas sanksi etik, maka
negara sedang melegitimasi impunitas,” ujar seorang pakar hukum pidana dari
Universitas Indonesia.
Organisasi HAM
dan mahasiswa bereaksi cepat. Mereka menuntut agar kasus Affan ditangani secara
transparan, tidak berhenti di meja Propam. “Jika Polri ingin dipercaya, kasus
ini harus dibuka ke publik, termasuk hasil autopsi, rekaman kejadian, dan siapa
pengemudi rantis malam itu,” kata aktivis HAM dari KontraS.
Di media sosial,
netizen ramai menyuarakan kekecewaan. Mereka membandingkan dengan kasus serupa
di masa lalu yang menguap tanpa penyelesaian. “Jangan biarkan Affan jadi
statistik. Ini soal nyawa dan tanggung jawab negara,” tulis seorang pengguna
Twitter.
Kematian Affan
mengingatkan pada deretan kasus lama. Dari tragedi mahasiswa 2019, penembakan
di Papua, hingga kekerasan aparat dalam mengamankan aksi buruh. Hampir semua
kasus punya pola serupa: ada korban sipil, ada janji penegakan hukum, lalu
menghilang dalam senyap.
Catatan Komnas
HAM menyebut, dalam lima tahun terakhir terdapat puluhan kasus pelanggaran
prosedur aparat saat mengamankan aksi, dengan korban jiwa mencapai belasan
orang. Namun, hanya segelintir kasus yang berlanjut ke meja pengadilan.
Kasus Affan
adalah ujian besar bagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Upaya reformasi
Polri yang dicanangkan sejak awal kepemimpinannya kembali dipertaruhkan. Jika
penanganan kasus ini dianggap tidak transparan, kepercayaan publik pada Polri
akan semakin runtuh.
Bukan hanya
masyarakat sipil yang menyoroti, komunitas internasional pun memantau. Amnesty
International bahkan sudah menyampaikan keprihatinan atas pola kekerasan aparat
di Indonesia. Jika tidak diselesaikan tuntas, kasus Affan bisa menjadi catatan
buruk dalam laporan HAM global.
Di kediamannya,
keluarga Affan masih diliputi duka. Ayahnya hanya bisa berbicara singkat. “Kami
hanya ingin keadilan. Jangan biarkan kematian anak kami sia-sia,” ucapnya
lirih.
Ucapan sederhana
itu menyimpan makna mendalam. Keluarga korban berharap negara hadir, bukan
sekadar memberi janji.
Pertanyaan besar
kini mengarah pada rantai komando. Benarkah pengemudi rantis bertindak atas
inisiatif sendiri, atau menjalankan perintah? Jika ada instruksi dari atasan,
maka tanggung jawab tidak bisa berhenti pada pelaku lapangan.
“Harus ada
investigasi menyeluruh, termasuk menelusuri siapa yang memberi komando. Tanpa
itu, kebenaran hanya akan berhenti di permukaan,” kata peneliti hukum tata
negara.
Kematian Affan
Kurniawan bukan sekadar tragedi personal. Ia menjadi simbol rapuhnya
perlindungan warga negara di hadapan aparat. Tujuh anggota Brimob kini
diperiksa Propam, namun pertanyaan publik belum terjawab: apakah mereka
benar-benar akan dijadikan tersangka, atau sekadar menjalani pemeriksaan formalitas?
Sejarah mencatat,
banyak kasus serupa berakhir tanpa kejelasan. Tetapi kali ini, masyarakat
menaruh perhatian penuh. Tagar di media sosial, desakan organisasi sipil,
hingga sorotan media internasional menandakan bahwa kasus Affan tidak akan
mudah dilupakan.
Kini, bola ada di
tangan Polri. Jika ingin membuktikan bahwa institusi kepolisian benar-benar
berubah, maka transparansi dan keadilan untuk Affan harus ditegakkan. Sebab,
setiap nyawa yang hilang bukan hanya angka, melainkan amanat konstitusi, negara
wajib melindungi rakyatnya, bukan melukai. (TIM)
0 komentar:
Post a Comment