Blitar UKN
Fenomena
mengejutkan terjadi di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Dalam enam bulan terakhir,
sebanyak 20 guru berstatus Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mengajukan permohonan
cerai. Angka ini langsung mengalahkan jumlah permohonan sepanjang tahun 2024
yang "hanya" mencatat sekitar 15 kasus. Lonjakan ini sontak menjadi
sorotan publik dan memunculkan berbagai spekulasi: apa yang sebenarnya terjadi setelah mereka
dilantik menjadi PPPK?
Kepala Bidang Pengelolaan SD Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Blitar, Deni Setiawan, mengonfirmasi kabar tersebut. Ia menyebut bahwa mayoritas dari guru yang mengajukan izin cerai adalah perempuan. Meski tidak secara gamblang menyebut penyebabnya, Deni menduga faktor ekonomi dan perubahan dinamika rumah tangga menjadi pemicu.
Baca juga : ASYIIIK
! Duit Bansos Nambah Rp400 Ribu, Warga Dapat Rp1 Juta Langsung Cair
Baca juga : Cara daftarmenjadi anggota koperasi merah putih desa / kelurahanan
Baca juga : Rocky Gerung gegerkan podcast
“Kami
tidak bisa memastikan apa alasan personal masing-masing guru. Namun, bisa jadi
setelah memiliki status dan penghasilan tetap sebagai PPPK, muncul keberanian
atau keputusan yang sebelumnya tertunda,” jelasnya.
Deni
menambahkan bahwa setiap Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk PPPK, wajib mengantongi izin dari
kepala daerah sebelum melanjutkan proses cerai di pengadilan
agama. Jika mereka melangkahi prosedur ini, maka bisa dikenai sanksi kepegawaian
yang cukup berat dari pihak inspektorat.
“Artinya,
kalau sudah ada putusan cerai dari pengadilan, tapi izinnya belum turun, maka
otomatis akan masuk ranah pelanggaran disiplin. Bisa berujung pada pemeriksaan
dan sanksi,” tegas Deni.
Fenomena Baru atau Alarm Sosial?
Fenomena
meningkatnya angka perceraian pasca pengangkatan PPPK ini menimbulkan banyak
interpretasi. Sebagian menyebut ini sebagai bentuk
“kemerdekaan finansial” yang baru dirasakan
oleh guru perempuan, terutama mereka yang sebelumnya dalam posisi ekonomi lemah
di rumah tangga. Dengan gaji tetap dan jaminan kerja, banyak yang merasa kini
punya kendali atas hidupnya sendiri.
Namun,
di sisi lain, sejumlah pemerhati sosial menilai ini sebagai alarm sosial yang
perlu ditangani dengan bijak. Jika lonjakan ini dibiarkan tanpa pemahaman
menyeluruh, bisa berdampak pada kualitas pendidikan dan stabilitas psikologis
guru di lapangan.
“Guru
adalah panutan. Ketika banyak yang mengalami konflik rumah tangga hingga
perceraian, tentu ini perlu jadi perhatian serius, bukan hanya dari sisi aturan
ASN, tapi juga dari sisi pembinaan mental dan sosial,” kata seorang pemerhati
pendidikan di Blitar.
Netizen Bereaksi: “Sudah Mapan, Baru Berani!”
Fenomena
ini juga ramai diperbincangkan di media sosial. Banyak netizen menyampaikan
beragam pendapat—ada yang mendukung keputusan para guru, ada juga yang
menyayangkan.
“Dulu
ditahan-tahan karena belum punya penghasilan tetap. Sekarang sudah mapan, jadi
berani keluar dari hubungan yang toxic,” tulis salah satu pengguna X (Twitter).
Tak
sedikit pula yang menyoroti pentingnya edukasi pranikah dan penguatan mental
ASN, terutama bagi mereka yang baru saja diangkat sebagai PPPK. Karena
kehidupan setelah pengangkatan tak hanya soal gaji dan status, tapi juga
perubahan besar dalam dinamika kehidupan pribadi.
Fenomena ini membuka mata kita bahwa status pekerjaan ternyata bisa sangat memengaruhi keputusan besar dalam hidup seseorang. Lalu, apakah ini akan terus menjadi tren di kalangan ASN muda? Waktu yang akan menjawab. (TIM)
0 komentar:
Post a Comment