Friday, April 3, 2020

Jabatan Politik yang tidak boleh berpolitk praktis..

Opini : By. Ismail Marzuki, SE

Jabatan Politik dalam administrasi publik adalah pejabat publik yang dihasilkan oleh pemilu atau pemilukada. Sementara itu, jabatan politis, merupakan jabatan yang dihasilkan oleh proses politik, misal, Gubernur, wakil gubernur, Presiden/ wakil Presiden, beserta para menterinya.
Jabatan Kepala Desa atau sebutan lain adalah jabatan yang  dipilih langsung oleh rakyat atau masyarakat desa secara demokratis. Jabatan tersebut sama seperti jabatan politik lainya seperti jabatan wakil rakyat atau DPR, Bupati / Walikota, Gubernur bahkan Presiden sekalipun. Mereka dipilih langsung oleh Rakyat. Bahkan mereka diwajibkan untuk diusung oleh Partai Politik, bila ingin mengikuti kontestasi merebut jabatan politik tersebut dengan alasan mereka adalah kader Partai Politik terbaik mereka.
Hal ini  berbanding terbalik dengan jabatan Kepala Desa. Seseorang yang ingin merebut jabatan Kepala Desa justru dilarang untuk menjadi kader atau pengurus Partai Politik. Bila seorang kandidat kepala desa diketahui tercatak sebagai kader atau pengurus partai politik, maka kandidat tersebut terancam diskualifikasi dari pencalonannya. Padahal, calon Kepala Desa bukan dari unsure PNS/TNI/Polri. Ironis sekali bukan ?
Entah disadari atau tidak oleh para pembuat undang-undang, yang jelas, kondisi ini sudah berlangsung lama sejak zaman Orde Lama, Orde Baru dan bahkan di orde Reformasi sekarang ini. Di zaman orda baru (Orba), jabatan politik baik Presiden, Gubernur maupaun Bupati/walikota, dihasilkan dengan musyawarah wakil rakyat (DPR, DPRD Prov. DPRD Kab/Kota) hasil pemilihan umum (Pemilu). Sementara itu, kepala desa tetap saja dipilih langsung oleh rakyat desanya masing-masing, tanpa menggunakan Partai Politik terendah yang ada di desa masing-masing.
Di era reformasi, terjadi perubahan besar dalam perebutan jabatan politik. Jabatan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dipilih langsung oleh rakyat. Sesorang yang ingin merebut jabatan tersebut harus diusung oleh Partai Politik. Maka partai politiklah yang memegang peran penting untuk mencalonkan kader terbaiknya untuk merebut jabatan politik. Sementara itu di zaman reformasi ini juga jabatan kepala desa tetap saja di pilih langsung oleh rakyat dan kandidatnya tetap tidak diperbolehkan menjadi kader partai politik.
Hal yang sama juga terjadi pada Badan Permusyawaratan Desa (BPD). BPD yang diamanatkan untuk menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa. Peraturan Desa (Perdes) sebagaimana tercantum dalam penjelasan UU no 6 tahun 2014 tentang desa adalah sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat Desa. Sekali lagi, mereka tidak boleh berpolitk.
Apakah para politisi senayan menganggap para kepala desa dan BPD adalah objek politik dan bukan subjek politik ?  sehingga membiarkan kondisi warisan orde baru (Orba) ini terus berlangsung di era reformasi ini ?. Padahal kalau para politisi senayan ingin mengembangkan system perpolitikan sampai ke desa, mereka dapat saja menggunakan kader terbaik parpol mereka yang ada di tingkat desa untuk merebut tampuk kekuasan di desa, baik sebagai kepala desa maupun pimpinan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dengan demikian, kedepan kita akan menyaksikan kepala desa yang merupakan Pimpinan Parpol A di tingkat desa, sementara itu Ketua BPDnya adalah kader Partai B di tingkat desa tersebut. Dengan demikian maka kekuasaan yang di monopoli oleh Kepala desa tidak akan terjadi lagi karena ada BPD yang benar-benar independen yang akan mengawasi. 

***********
Share:

0 komentar:

Featured Post

Perempuan cerdas berintegritas akan entaskan kemiskinan Sumatera Selatan, dengan Program Ekonomi Hijau

Cari di web ini

Tag